MENJADI manusia modern itu gampang-gampang susah. Gampang karena sudah ada banyak teknologi yang 'katanya' mempermudah dan mempercepat segala kegiatan manusia. Susah karena terkadang teknologi yang sama justru membuat hidup manusia semakin kompleks dan akhirnya menjadi sumber kesusahan.
Sore ini, dengan menggunakan teknologi social media, seorang kawan menuliskan sebuah tweet yang mencerminkan kerisauannya soal kemajuan teknologi yang digunakan manusia. Saya tak tahu apakah dia tergolong manusia modern yang sama risaunya dengan saya atau hanya meng-copy paste kata-kata dari paper-nya agar terlihat keren di dunia maya.
Dalam tweet singkatnya, sang kawan berceloteh soal manusia yang ia nilai kian hari kian terobsesi oleh kemajuan teknologi. Inti yang saya tangkap dari tweet-nya adalah teknologi yang semula diciptakan untuk memajukan peradaban secara tidak sadar semakin menjadi instrumen yang menyandera peradaban manusia itu sendiri.
Membaca tweet kawan itu, mengingatkan saya sebuah dialog salah satu film favorit saya. Dalam film berjudul Before Sunrise itu termuat satu percakapan ringan soal kemajuan teknologi yang masih terngiang-ngiang di kepala saya. Jesse yang diperankan oleh Ethan Hawke bercerita kepada Celine yang diperankan Julie Delpy. Begini kata-katanya :
You know what drives me crazy? It's all these people talking about how great technology is, and how it saves all this time. But, what good is saved time, if nobody uses it? If it just turns into more busy work. You never hear somebody say, "With the time I've saved by using my word processor, I'm gonna go to a Zen monastery and hang out". I mean, you never hear that.
Jesse rupanya sama risaunya seperti saya dan kawan saya itu. Apalah guna teknologi hebat yang kata orang bisa menghemat waktu? Memangnya hasil penghematan waktu yang dihasilkan teknologi itu kita gunakan untuk beribadah misalnya, atau bermain atau bersosialisasi? Rasa-rasanya tidak. Waktu luang yang dihasilkan kebanyakan digunakan untuk pekerjaan lainnya. Ujung-ujung-nya, ya kita jadi semakin sibuk.
Sebagai contoh, seorang wartawan di era 1980-an harus bersusah payah ketika akan mengirimkan berita dari luar kota. Jangan bayangkan seperti sekarang. Sekarang pengiriman berita bisa dilakukan dengan menggunakan komputer yang terhubung dengan internet lalu mengirimkan e-mail. Saat itu, bahkan faksimili sekalipun belum lazim digunakan. Pengiriman berita masih menggunakan mesin teleks seperti yang digunakan kantor pos untuk mengirim telegram. Karena masih sulit mengirim berita dari luar kantor, alur kerja wartawan cukup sederhana. Usai meliput, mereka menulis di kantor atau mengirimkannya jika ada diluar kantor, setelah itu pekerjaan wartawan selesai.
Bandingkan dengan saat ini, setelah ada internet terlebih lagi ketika muncul smartphone bermerk buah beri hitam. Semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk mengirim berita, semakin banyak juga waktu yang bisa dimanfaatkan wartawan mengerjakan hal lain. Tapi apakah sang wartawan bisa berleha-leha dengan penghematan waktunya? Saya rasa tidak. Kantor semakin bawel karena terus-terusan meminta berita. Tak ada alasan untuk tidak mengirimkan berita. Berkat beri hitam itu wartawan dituntut mengirimkan berita dari mana dan kapan saja. Bahkan ketika sedang asik-asik bersama keluarga.
Selain itu, teknologi juga membuat kehidupan semakin kompleks. Contohnya adalah dalam hal percintaan. Jauh sebelum komunikasi smartphone dan internet hadir, sepasang kekasih biasanya hanya mengandalkan surat menyurat sebagai media komunikasi. Menunggu Pak Pos datang menjadi hal istimewa. Memang pada masa itu komunikasi antar kekasih tidak se-intens dan sesering saat ini, tapi hari-hari seperti itu begitu romantis bagi sebagian orang.
Kemudian datang teknologi telepon genggam, lalu dilanjutkan dengan smartphone. Komunikasi jadi semakin mudah, semakin cepat. Dimanapun dan kapanpun sang kekasih jauh satu sama lain, ada SMS ataupun pesan beri hitam yang akan menyambungkan mereka. Sayang, dengan cara ini kadang di kotak pesan salah satu pihak muncul pesan berbunyi kamu dimana? dengan siapa? semalam berbuat apa? Hasil dari intensnya komunikasi rasa tidak nyaman salah satu pihak. Tak jarang oleh sebab ini hubungan percintaan kadang kandas. Satu hal yang sulit terjadi di zaman surat menyurat.
Diantara semua kemajuan teknologi yang ada di sekitar saya, gabungan antara smartphone dan social media adalah hal yang paling merisaukan. Betapa tidak, seringkali saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri ada sekelompok orang-orang yang duduk di sebuah tempat makan/kafe namun tidak ada satupun diantaranya yang berinteraksi. Masing-masing sibuk dengan smartphone atau hp beri hitamnya. Bagaimana bisa ada human being di samping mereka, tapi mereka lebih memilih berinteraksi dengan yang jaraknya lebih jauh. Benar-benar seperti kata supir-supir angkot di Jakarta, yang jauh mendekat dan yang dekat menjauh. Celaka nian saya membatin.
Ilustrasi-ilustrasi diatas membuktikan sedikit banyak kerugian yang dialami mereka yang kurang memahami filosofi sebuah teknologi diciptakan. Teknologi diciptakan untuk memberi nilai dan manfaat bagi manusia dan peradabannya. Kalau tidak, ya tak perlulah kita menggunakan teknologi itu.
Mungkin terdengar cliche, tapi sudah sepatutnya kita memandang kemajuan terutama teknologi ini secara humanistik. Apakah itu akan memberikan manfaat bagi penggunanya (manusia tentunya)? Atau hanya akan membawa mudharat semata?
Salah seorang dosen saya di kampus pernah bilang kalau jurnalisme itu haruslah humanis. Harus bisa memanusiakan manusia. Saya rasa hal yang sama juga harus diterapkan pada proses penciptaaan dan penggunaan teknologi.
Bandung, Februari 2012
*Foto ilustrasi diambil dari clip salah satu adegan film Charlie Chaplin yang berjudul Modern Times (1936)
4 comments:
cinta memang sebaiknya jangan terlalu sering bertemu, biar muncul itu yang namanya RINDU...
NB: yang mau komen di blog ini tp gak bisa, itu sebenernya bisa, jangan mau ditipu teknologi :)
Memang gw sedang RINDU dan butuh AFEKSI..
aseli. kemaren gw komen.. kok ga muncul..
Berarti lu sudah diperdaya teknologi...
Post a Comment