KETIKA pertama melihat menu ini awalnya saya biasa-biasa saja, namun setelah memperhatikan lebih seksama saya terheran-heran. Bukan karena harganya, tapi karena salah satu ikan yang ditawarkan di daftar menu sebuah kedai makanan laut di Jatinangor.
Hiu. Siapa pula mau makan ikan hiu? Bisa saja orang yang penasaran. Bisa juga orang yang butuh pengobatan. Atau mungkin cuma orang yang sedang kelaparan. Saya tidak tahu.
Dari pengalaman saya, kebanyakan pedagang memanfaatkan rasa penasaran orang untuk meningkatkan keuntungannya. Caranya beragam. Tapi ada dua cara yang sering saya temui. Pertama, biasanya dengan menjajakan suatu dagangan yang memiliki nama-nama yang beda, unik, atau jarang terdengar. Di Bandung, fenomena ini marak muncul pada bisnis keripik singkong yang booming setahun belakangan. Keripik inilah, keripik itulah, atau keripik apalah. Banyak yang berhasil, tapi tak sedikit yang gagal.
Cara kedua biasanya dengan menawarkan barang dagangan yang memang pada dasarnya unik dan jarang ditemukan. Lazimnya berasal dari tempat yang jauh dari tempat barang itu diperdagangkan. Dalam kasus kedai makanan laut ini, barang dagangannya adalah ikan hiu. Bagi orang-orang yang tinggal di Jatinangor, yang notabene daerah pegunungan dan jauh dari laut, ikan hiu menurut saya merupakan satu hal yang seksi nan eksotis. Menggugah rasa penasaran sehingga pada akhirnya akan menimbulkan hasrat untuk membeli si hiu.
Meskipun dihampiri rasa penasaran, saya memutuskan untuk tidak memesan masakan yang bahannya diambil dari Sang predator lautan itu. Hiu memang sering digambarkan sebagai hewan yang bengis di film-film Hollywood, biarpun begitu saya merasa tak punya hak untuk menjadikan ikan ini sebagai bahan pangan.
Pembeli lain yang sama penasarannya dengan saya mungkin akan memesannya. Sang tukang masak pun lantas akan membakar, merebus, memanggang atau membakar sang predator. Menyajikannya di sebuah pinggan dengan bumbu sesuai pilihan. Setelah menyantap, pembeli senang karena rasa penasaran mungkin sudah hilang. Pedagang pun tenang, tapi ikan hiu kini tak lagi bisa berenang.
Bagi sebagian petualang kuliner, Ikan hiu yang menjadi hidangan ini mungkin remeh temeh. Namun bagi saya, hal menimbulkan sekelumit kekhawatiran. Pasalnya, hari itu bukan kali pertama saya menemukan menu yang memasukkan ikan hiu sebagai salah satu sajiannya.
Pernah satu kali saya berwisata kuliner ke kedai makanan laut di Jakarta utara. Pada kesempatan itu saya juga menemukan ikan hiu di menu. Bedanya saya sempat berpikiran untuk memesannya. Karena penasaran, saya berusaha melihat seperti apa hiu yang akan saya santap nanti. Setelah melihat ke dapurnya yang memang terbuka, saya batal memesan lantaran ikan hiu yang akan di masak rupanya masih kecil alias baby hiu (tapi bukan baby huey).
Kalau saya makan bayi hiu itu, secara sadar saya akan terlibat dalam pengurangan populasi hiu dunia. Saya tak mau rasa penasaran saya merusak tatanan ekosistem dunia. Rasanya tak perlu jadi aktivis lingkungan untuk bisa berpikir seperti itu.
Obat yang Beracun
Ada banyak ikan di laut, sungai, maupun danau yang bisa dinikmati. Mengapa harus repot-repot makan hiu?
Konon hiu, terutama siripnya, memberikan khasiat bagi kesehatan para penyantapnya sehingga bisa dijadikan bahan obat-obatan tradisional. Secara tradisional masyarakat di Asia memang meyakini hal ini sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Karena itu demand dari Asia masih yang tertinggi.
Sirip punggung hiu merupakan organ yang dijadikan makanan mahal setelah dibuat sup. Harga semangkuk sup sirip hiu bisa mencapai ratusan dollar. Dari hasil se-googling dua-googling, saya menemukan bahwa harga semangkuk sup sirip ikan hiu bisa mencapai US$ 100,00 di restoran-restoran seafood di seluruh dunia.
Manfaatnya bagi kesehatan merupakan kabar gembira bagi orang yang meyakininya. Nilai jual yang menguntungkan juga merupakan kabar gembira bagi orang-orang yang terlibat dalam perdagangannya. Sayang, bagi tak ada kabar gembira bagi ikan hiu.
Pagi ini saya menemukan photo essay menarik soal perdagangan ikan Hiu di situs The Jakarta Globe. Dikisahkan bahwa Ikan hiu masih diperdagangkan secara bebas di beberapa wilayah di negeri ini. Demand akan ikan hiu pun rupanya masih tinggi di Asia. China, Taiwan, Hongkong, maupun Jepang merupakan konsumen terbesarnya.
Dalam rantai makanan ekosistem laut, ikan hiu menduduki tingkatan konsumen puncak (top level) sebagai predator yang amat berpengaruh bagi keseimbangan ekosistem. Banyak pakar kelautan meyakini bahwa ikan hiu merupakan mahluk vital dalam menjaga keanekaragaman hayati, khususnya di perairan laut. Berkurangnya populasi hiu berarti 'sesuatu banget' untuk ekosistem dunia.
Ada fakta menarik yang diingatkan teman saya soal ikan hiu. Bagi yang sudah menonton dokumenter berjudul The Cove mungkin ingat satu bagian yang menyinggung soal kandungan merkuri di laut yang sangat mengkhawatirkan.
Dikisahkan bahwa limbah industri yang dibuang ke laut rupanya mencemari air laut. air laut kemudian tercemar oleh merkuri dan zat-zat berbahaya lainnya. Dampaknya, Ikan-ikan ukuran kecil maupun ukuran sedang yang habitanya di laut juga terkontaminasi merkuri. Sebagai predator paling atas di rantai makanan, ikan hiu otomatis mengandung jumlah merkuri yang paling banyak diantara ikan-ikan lainnya.
Pada akhirnya bukan jadi obat, daging hiu malah jadi racun bagi manusia karena kita tahu merkuri berdampak buruk bagi kesehatan manusia.
Hal senada juga diungkapkan oleh John Harsbarger, salah seorang ilmuwan dari George Washington University, yang hasil risetnya disampaikan pada pertemuan Asosiasi Riset Amerika di San Fransisco. Rupanya ikan hiu sendiri banyak menderita kanker sebanyak 40 jenis kanker termasuk ginjam, kanker limpa, dll.
Jadi, siapa yang masih mau makan hiu?
Bandung, Desember 2011
(Update, Ketika saya makan malam di kedai makanan laut pada 12/12/11, sajian ikan hiu sudah menghilang dari menu)
No comments:
Post a Comment