.

3.11.11

Apa Kita Masih Perlu Koran Baru?

ZAMAN sekarang melihat koran yang mempercantik versi digitalnya adalah pemandangan yang jamak. Koran yang meningkatkan kolaborasinya dengan situs online miliknya juga merupakan pemandangan yang tak kalah jamak. Namun jika melihat ada situs berita online yang menerbitkan koran, ini baru pemandangan langka.

Pemandangan langka itu bernama Inilah Koran. Koran ini terbit perdana dua hari (1/11) yang lalu di Bandung. Saya terheran-heran saat pertama melihat koran ini di salah satu loper besar di Jatinangor. Saya heran bukan karena namanya yang terkesan tidak serius, tapi heran karena koran ini diterbitkan oleh sebuah grup media yang sebelumnya sudah memiliki beberapa situs berita online. Bagi yang belum tahu, Inilah Koran diterbitkan oleh Inilah Media Group. Grup sama yang memiliki Inilah.com, Inilahjabar.com dan Jakartapress.com.

Ada dua keputusan Inilah Media Group yang belum bisa dicerna oleh logika saya. Pertama, keputusannya terjun ke bisnis koran setelah beberapa tahun established di dunia media online. Kedua, adalah keputusannya menerbitkan koran ini di Bandung.

Untuk yang pertama, rasa-rasanya semua orang sudah tahu kalau bisnis koran dalam beberapa tahun belakangan mengalami kemorosotan tiras penjualan. Tak perlu jadi Jakob Oetama untuk tahu kalau media cetak kian hari kian ngos-ngosan meladeni persaingan dengan media-media berita yang memanfaatkan jaringan internet (media online).

Sudah setahun ini saya pun lebih gemar membaca berita dari situs berita online ketimbang media cetak. Alasannya standar, karena saya bisa membaca banyak berita dalam waktu yang relatif singkat. Saya bisa read less tapi know more. Sayang, akibat kebiasaan baru ini saya jadi semakin jarang membeli koran. Sadar tidak sadar ada banyak orang, termasuk saya, jadi salah satu penyebab tiras penjualan koran yang kian hari kian terjun bebas. 

Agar bisa bertahan dari ‘persaingan’, kebanyakan koran kini memiliki versi digital. Bisa diperoleh di situs berita milik mereka ataupun diunduh dengan aplikasi-aplikasi mobile yang tersedia di pasaran. Semua dilakukan agar pembaca-pembaca seperti saya, yang haus kemudahan, bisa memperoleh akses ke versi digital koran bersangkutan. Karena itu, tak ada lagi alasan kalau membaca berita di situs online lebih mudah ketimbang baca koran.  

Dilihat dari sudut itu, mengembangkan unit usaha yang sudah established (Inilah.comInilahjabar.com dan Jakartapress.com) rasa-rasanya lebih realistis ketimbang memulai dari nol unit usaha baru di bidang media cetak.  Maka tak salah kalau saya berpandangan ada baiknya Inilah Media Group memfokuskan sumber daya  untuk news portal milik mereka. 

Keputusan Inilah Koran terbit di Bandung juga membuat saya heran. Pasalnya persaingan bisnis koran di Bandung boleh dibilang sengit dan cukup angker. Bagi pembaca kelas menengah hingga atas, Pikiran Rakyat sudah bercokol sejak puluhan tahun yang lalu. Posisinya pun konon tak bisa digeser oleh koran manapun. Bahkan oleh koran sekelas Kompas sekalipun. Kompas sendiri sempat berusaha meraih ceruk pembaca di Jawa Barat, terutama Bandung, dengan mendirikan biro Jabar. Sayang, pada akhirnya mereka harus rela menutup bironya. Mungkin karena tak kuat meladeni persaingan dengan koran-koran setempat.    

Untuk kelas yang lebih merakyat juga telah terisi beberapa koran lokal. Dari pengamatan saya sudah ada Tribun Jabar (milik Kompas), Galamedia (miliki Pikiran Rakyat), dan Bandung Ekspress (milik Jawa Pos Group) yang sudah meramaikan bisnis koran kota Bandung. Tanpa kehadiran Inilah Koran, persaingan koran di Bandung  saja sudah cukup sengit, apalagi ditambah dengan koran baru. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari loper tempat saya mendapatkan Inilah Koran, beberapa koran lokal sudah berancang-ancang mengantisipasi persaingan yang kian sengit dengan mengotak-atik harganya. Tribun Jabar yang awalnya berencana menaikkan harga mendengar ada koran saingan yang akan hadir mengurungkan niatnya. Mereka akhirnya batal menaikkan harga. Begitu juga dengan Galamedia yang bahkan rela menurunkan harganya dari Rp 1500 menjadi Rp 1000 demi mengantisipasi persaingan yang menunggu.

Saya tak tahu hitung-hitungan bisnis yang dipikirkan oleh Inilah Media Group, tapi yang jelas menerbitkan satu koran itu butuh biaya dan sumber daya yang sangat besar. Belum lagi jika harus memperhitungkan persaingan dengan yang bukan media online alias media cetak lainnya. 

Jadi apa koran ini akan bertahan? Saya bukan peramal. Saya juga belum pernah berbisnis koran. Jadi saya tak mau sok tahu. Ah, biar waktu saja yang menjawab.

Bandung, November 2011

No comments: