
Sayang, itu kisah sebelum tahun 2007, jauh sebelum ada tol Cipularang, sebelum pembangunan infrastruktur mendekatkan kedua kota.
Itulah kesan yang saya tangkap ketika membaca makalah pengantar yang ditulis oleh Ifan Ismail pada pembukaan Pameran Jakarta-Bandung Pulang Pergi (PP) pada 18 Juli 2011 di Auditorium CCF Bandung.
Pameran Jakarta-Bandung Pulang Pergi merupakan inisiatif sepuluh perupa muda lintas media dari Bandung dan Jakarta. Lima perupa Bandung (Ageng Purna Galih, Dave Syauta, Billy Anjing Liar, Diandra Galih, dan William Wahyu Waluyo) bergabung dengan Lima perupa Jakarta (Ary Buy Shandra, Aditya Rahadi Pratama, Andi Rharharha, Rege Indrastudianto, dan Ritchie Ned-Hansel).
Melalui lukisan, kolase, foto, ilustrasi, instalasi, video-art dan screen-printing, mereka coba memotret kegelisanan serta relasi benci tapi cinta dari masing-masing sisi. Sayang dari puluhan karya yang tergantung di dinding, terpasang di lantai, maupun terproyeksi di tembok, mungkin hanya satu dua yang berkesan untuk saya.
Ini bukan observasi ataupun kritik, hanya kesan yang muncul dari seorang penglaju yang bergerak diantara dua kota ini. Pasalnya, saya punya kedekatan pribadi yang cukup untuk merasakan apa yang dirasakan mereka.
Saya sadar betul pembangunan infrastruktur mendekatkan Jakarta dan Bandung secara fisik. Para penghuninya tak bisa memungkiri bahwa perpindahan (migration) dan pergerakan (movement) antara Bandung dan Jakarta tidak pernah berhenti mengalir.
Dulu ketika kita masih melewati Tol Jagorawi - Puncak - Cianjur – Bandung. Dengan jarak tempuh kurang lebih 180 km tempuh antara 3 - 4 jam. Tapi kalau lewat Tol Cikampek - Cipularang kurang lebih 140 km waktu tempuh yang diperlukan kurang dari 3 jam.
Bayangkan, berapa kenaikan jumlah penglaju setelah Cipularang dibangun. Secara tak sadar jarak ‘aman’ yang dahulu terjaga perlahan-lahan tergerus. Mau tak mau hubungan yang semula saling melengkapi, bukan tidak mungkin akan menjadi predatorial.
Kekhawatiran akan dilahapnya Bandung oleh tetangganya ini mulai terasa bagi mereka yang bermukim di kota kembang. Seringkali saya menemukan keluhan soal mulai panasnya Bandung atau mulai berkurangnya kenyamanan berkendara (macet) terutama di akhir pekan lantaran invasi mobil-mobil berplat nomor ‘asing’.
Seorang kawan saya yang bermukim di Bandung bahkan begitu rajin menuliskan tweet-tweet kebenciannya akan situasi ini tiap mengalami kemacetan di akhir pecan. Ia begitu lantang menyatakan kebenciannya, namun tidak sadar jika kota yang ia benci secara bersamaan juga kota yang ia butuhkan lantaran seringkali konser-konser band yang ia cintai berada di kota itu.
Itulah kenyataan bagi warga kedua kota. Betapapun benci atau cinta, Jakarta-Bandung Pulang Pergi.
Bandung, 2011
No comments:
Post a Comment