AWAL
Mei 2014 digelar
sebuah diskusi buku yang mengusung tema Fenomena
Memotret dengan Smartphone. Diskusi ini secara khusus membahas buku foto
hasil kolaborasi empat pewarta foto Jakarta: Dita Alangkara, Ahmad Zamroni,
Yuniadhi Agung, dan Mast Irham. Buku itu diberi judul NESW (North, East, South, West)
dan berisi kompilasi momen sehari-hari yang diabadikan para fotografer dengan
kamera ponsel mereka masing-masing.
Saya mengikuti diskusi itu dari awal hingga akhir. Mulai dari presentasi keempat pewarta foto soal buku mereka, dilanjutkan dengan pembahasan yang disampaikan bergantian oleh Arbain Rambey (fotografer senior Kompas), Beawiharta (fotografer Reuters), dan Oscar Motuloh (Kepala Divisi Museum dan Galeri Fotojurnalistik Antara). Lalu diakhiri dengan sesi tanya jawab.
Tak kurang dari dua
jam saya duduk menyaksikan para pembicara, termasuk keempat pewarta foto,
bicara panjang lebar soal buku tersebut. Namun, saya merasa masih ada beberapa hal
penting yang kurang digali atau bahkan terlewatkan sama sekali.
Kesan saya, perbincangan
hanya terpusat sebatas apa yang nampak dari foto-foto tersebut (representasi). Para
pembicara lebih sering terdengar mengomentari dan juga mengkritik foto-foto
dalam buku tanpa banyak menyentuh hal-hal lain di luar itu.
Mereka semua juga
berkali-kali berusaha meyakinkan para peserta diskusi bahwa intinya siapa saja
bisa bikin foto bagus apapun alat yang digunakannya. Sehingga perkara “the man behind the camera” lebih kenceng terdengar ketimbang pembahasan
seputar kehadiran teknologi baru yang membuat fotografi makin mudah dan kian
menjadi milik semua orang. Apa yang menjadi tema utama diskusi sekaligus
keunikan buku justru kurang menjadi perhatian dalam diskusi.
Saya kira buku NESW memiliki tiga hal yang buat saya
menarik dan cukup menonjol. Pertama, pemanfaatan kamera ponsel sebagai medium perekam.
Kedua, penggunaan jejaring sosial Instagram yang merupakan bentuk awal proyek
ini bermula. Ketiga, keputusan pemanfaatan medium tradisional (buku) sebagai bentuk
akhir proyek ini.
***
Ponsel pintar beserta
kamera yang melekat padanya merupakan medium perekam yang kian dominan dalam
kehidupan kita. Bre Redana dari Kompas dalam
satu artikelnya yang berjudul Art
menuliskan bahwa dengan gadget di tangan (termasuk ponsel pintar), kita
dimungkinkan untuk bisa merekam apa saja, mendokumentasikan apa saja, membikin file apa saja, atas semua momen
kehidupan.
Walaupun pada akhirnya
Bre mengkritik penggunaan gadget tersebut
akhirnya membuat semua momen seakan serba penting dan berharga, hal ini tak
bisa mengubah kenyataan bahwa pemanfaatan kamera ponsel pintar membuat
fotografi semakin mudah dan pada akhirnya menjadi milik semua orang.
Tahun-tahun belakangan
kita menyaksikan peristiwa-perisitiwa besar yang berkaitan dengan pemanfaatan
ponsel pintar di kalangan profesional. Salah satunya, yang mungkin Anda sudah
dengar, adalah peristiwa pemberhentian jajaran fotografer suratkabar Chicago Sun Times pada Mei 2013 lalu.
Para fotografer itu lantas digantikan oleh sejumlah reporter yang dibekali iPhone.
Dalam perjalanannya Chicago Sun Times memang menuai kritik pedas.
Foto-foto yang dihasilkan para reporter ber-iPhone
pun tidak sesuai harapan semula alias tidak sebagus para fotografer yang mereka
berhentikan. Namun hal tersebut sudah cukup membuat semua orang, terutama pewarta
foto, di berbagai belahan dunia berpikir ulang soal fotografi dan dihadapkan
kepada apakah harus mempertahankan cara pandang fotografi seperti yang diperkenalkan
William Henry Fox Talbot 175 tahun yang lalu? Ataukah mencari cara
pandang baru?
NB: #Pencermat adalah singkatan dari "Pencerita Jumat" yang merupakan program menulis rutin saya, Rizki, Tito, Lodra, Dimas yang diterbitkan tiap hari Jumat pada blog kami masing-masing.