.

10.3.14

Ketika Terakhir Bertemu

"Un Petit Cadeau Pour Toi." Bandung, circa 2009  © Andra Perdana Siregar
AKU  ingat siang itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.35 ketika bus yang aku tumpangi terhenti di satu perhentian dekat Jalan Soekarno-Hatta, yang membentang di bagian selatan Bandung. Di dalam bus, aku berdesak-desakkan dengan para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk. Kurasakan hawa panas yang membuat badanku berkeringat dan terasa lengket.

Bus itu memang tak memiliki penyejuk udara. Hanya ada angin yang sesekali berhembus melalui jendela-jendela ketika bus sedang melaju. Jadi bila bus terhenti, terhenti pula hembusan angin yang menyejukkan penumpang.

Kuperhatikan para penumpang yang senasib denganku. Sebagian mengibas-ngibaskan apapun yang ada di tangan mereka untuk mengusir panas sementara yang lainnya nampak pasrah dan sibuk dengan lamunan masing-masing. Ada pula yang terlihat serius dengan telepon genggamnya.

Bus kembali melaju, namun segera terhenti beberapa saat kemudian. 

Kulihat jam yang ada di telepon genggamku sembari melihat-lihat pesan singkat yang ada di inbox. Tak ada satupun pesan singkat dari Lily. Ia tak membalas satupun pesan yang kukirimkan seminggu terakhir. Pesan yang kukirimkan semalam pun tak ada balasannya. Beberapa minggu terakhir ia semakin sering menghindar.  

Kira-kira dua bulan aku tak bertemu dengan Lily. Aku sibuk di Jakarta dan dia sibuk di Bandung. Aku sibuk menjalankan magang di salah satu suratkabar dan dia sibuk mengerjakan penelitian tugas akhir kuliah.

Cara kami berhubungan kebanyakan dilakukan lewat pesan singkat. Hanya sesekali lewat telepon. Komunikasi berjalan lancar tanpa kendala, walau isinya cuma keremeh temehan sehari-hari.

Dua minggu berlalu, komunikasi kami mulai menjadi kaku. Aku, dan mungkin juga dia, seolah kehabisan bahan pembicaraan. Semua rutinitas yang kulakukan tiap hari selama magang sudah kuceritakan. Begitu pula kesibukkan yang dia lakukan selama penelitian. Intinya kami sudah sama-sama tahu rutinitas satu sama lain. Dari mulai membuka mata di pagi hari hingga memejamkan mata di penghujung hari.

Tiap kali menghubunginya, aku kebingungan mengarahkan pembicaraan kami. Pertukaran pesan singkat kami lebih sering berakhir dengan pertengkaran. Kalau sudah begini, mau tak mau aku harus menelepon dia. Satu tindakan yang diharapkan bisa meredakan ketegangan, namun yang terjadi biasanya kebalikanya.

Hal tersebut kemudian membuat pikiranku jadi keruh. Satu hal yang kuhindari sekuat tenaga karena ingin memperoleh penilaian yang baik di tempatku magang.

Aku jadi lebih berhati-hati tiap kali membalas pesan singkat atau menerima telepon darinya. Aku tak mau pekerjaanku di tempat magang terganggu oleh persoalan ini. 

Sesuatu yang semula kuanggap menyenangkan telah berubah menjadi beban. Hubungan kami kini ibarat berjalan di ladang ranjau. Salah langkah bisa bikin celaka.

Pernah satu kali ia menelpon setelah beberapa hari aku tak mendengar kabar darinya. 

“Hei, Lily.” sapaku dengan gembira.

“Kamu di mana Lily?” tanyaku.

“Lagi di rumah.” Jawabnya dengan singkat.

“Aku masih di kantor nih. Lagi ngeberesin tugas dari editor yang jadi pembimbingku di sini.” kataku.

Lalu aku menceritakan semua hal yang kukerjakan hari itu. Termasuk detil-detil pekerjaanku yang sudah sering dia dengar dariku. 

“Ooh, begitu ya.” katanya.

Aku tak menanyakan maksudnya meneleponku karena sudah tahu alasannya. Aku yakin ia ingin menanyakan kabarku sekaligus ingin ditanya soal kabarnya.

“Kamu lagi ngapain?” tanyaku.

“Kamu kapan ke Bandung?” tanyanya tiba-tiba tanpa mempedulikan pertanyaanku.

“Nanti kalau aku udah selesai magang.” Jawabku.

“Iya aku tau. Tapi kapan?” Seketika ia memotong sebelum aku selesai menjelaskan.

“Kira-kira tiga minggu lagi.” Kataku.

“Kok lama banget sih.” 

Aku merasa senang sekali ketika mendengarnya. Aku mengartikan kalau ia sudah begitu rindu kepadaku. Hemm, entah apa yang nanti kudapat ketika nanti bertemu dengannya.
“Kamu pasti kangen ya sama aku? Udah bilang aja. Jangan malu-malu.” tanyaku dengan nada bercanda.

“Iya.” jawabnya.

“Iya apa?” aku coba mendesak. Memaksanya menyatakan kerinduannya secara terang-terangan kepadaku.

“Iya apa? jawabnya yang jelas dong!” ucapku terus mendesak.

Ia hanya terdiam. Tak menjawab desakanku.

“Kamu kenapa sih? Kok diem aja?”

“Gak apa apa.”

Semua laki-laki yang bisa Bahasa Indonesia pasti paham kalau “gak apa apa” atau gak kenapa napa ” adalah sebuah pertanda buruk.

“Lily, kamu kenapa?” aku tanya sekali lagi, dengan nada yang lebih lembut.

“Udah ya teleponnya.” ucapnya menyudahi.

Ia lantas menutup telepon. Kucoba telepon lagi namun tidak dijawab. Kucoba mengirim SMS namun tak dibalas. Celaka. Aku sudah menginjak ranjau pikirku.

Aku mulai resah seusai kejadian itu. Aku bertekad untuk menemuinya sesegera mungkin ketika masa magangku telah berakhir. 

Lamunanku tiba-tiba terhenti ketika seorang pria berseragam menepuk bahuku.

“Kembalian Sep ? Tadi ada kembaliannya enggak?,” ia bertanya dengan logat Sunda yang kental.
Enggak  Pak. Tadi uangnya pas. Rp.3500 kan?," aku balik bertanya.

Ia mengangguk lalu berjalan melewatiku. Pria berseragam itu rupanya kondektur yang ingin memberikan uang kembalian kepada penumpang. Dengan sukarela ia menghampiri satu per satu penumpang dari bagian depan hingga belakang bus. Bertanya hal yang sama kepada tiap penumpang yang ia hampiri. Satu hal yang jarang saya jumpai di kota asal saya Jakarta. Di sana penumpanglah yang biasanya harus susah payah menghampiri sang kondektur. Bukan sebaliknya. 
Sibuk melamun aku jadi tak tahu sudah sampai dimana bus ini melaju. Aku coba membalik badan dan bertanya tapi sang kondektur sudah lenyap diantara penumpang yang saling berhimpitan. Hanya suaranya saja yang terdengar. 

Kecilnya ukuran jendela memaksaku membungkukkan badan agar bisa melongok keluar jendela. Menerka-nerka sudah sampai dimana bus ini melaju. Sepertinya perjalananku masih panjang.


BERSAMBUNG
(akhir bagian pertama)


No comments: