.

6.4.12

Menghadapi dan Mengatasi Kehilangan

APA yang Anda lakukan ketika kehilangan orang yang dicintai secara tiba-tiba? Terus menerus bersedih meratapi kehilangan atau berusaha untuk ikhlas menerima kehilangan itu? Inilah premis yang ditawarkan film drama garapan Stephen Daldry, Extremely Loud and Incredibly Close. Melalui film ini kita akan menyaksikan bagaimana seorang anak berusia 9 tahun menghadapi dan berusaha menerima sebuah tragedi yang jarang dialami anak-anak seumurannya.


Dikisahkan, Oskar Schell (diperankan Thomas Horn) mula-mula memiliki kehidupan bahagia bersama kedua orang tuanya, Thomas Schell (diperankan Tom Hanks) dan Linda Schell (diperankan Sandra Bullock). Kedekatannya dengan sang ayah, membuat Oskar merasakan masa kanak-kanak yang penuh dengan imajinasi dan petualangan. Hal inilah yang menjadi sumber utama kebahagian Oskar sebagai seorang anak.

Sayang, kebahagian mereka berbalik 180 derajat menjadi kepedihan ketika Sang ayah  meninggal dalam peristiwa 11 September 2001. Kebahagiaan Oskar mendadak runtuh selayaknya gedung World Trade Center tempat ayahnya bersama ribuan korban lain kehilangan nyawa mereka. Sejak hari itu, Oskar terpaksa melupakan dunia anak-anak agar bisa bersikap dewasa dalam menghadapi tragedi tersebut.

Hati kecil Oskar terus menolak kematian sang ayah. Kian hari dirinya kian tenggelam dalam kesedihan. Sampai suatu hari, setahun setelah tragedi itu, ia menemukan amplop yang berisi kunci misterius di sebuah vas berwarna biru milik ayahnya. Timbul secercah harapan di hati Oskar yang merasakan kembali hubungannya dengan sang ayah. Dalam hati ia merasa jika berhasil memecahkan misteri dari kunci itu, ia bisa lebih mengenal ayahnya sekaligus mengobati kesedihannya.

Oskar berusaha keras mencari tahu misteri dibalik kunci yang ia temukan karena ia yakin inilah pelipur lara sekaligus teka-teki terakhir yang dibuat sang ayah untuk Oskar. Dengan mengandalkan satu-satunya petunjuk, nama Black yang tertulis di amplop, dimulailah petualangan Oskar  menemui semua orang bernama Black di seluruh penjuru The Big Apple

Meski bukan tema sentral, posisi tragedi 11 September tetap menjadi elemen yang signifikan dalam film ini. Beberapa review yang saya baca banyak yang menekankan bahwa isu 11 September bisa saja diganti dengan tragedi lainnya. Peritiwa11 September dianggap bukanlah tema besar yang ingin disampaikan pembuat film.

Penonton yang kritis mungkin akan bertanya-tanya soal penempatan tragedi 11 September sebagai latar cerita. Hal ini berkaitan dengan posisi subjek-subjek yang ada dalam film.  Teroris dibalik peritiwa 11 September sebagai pelaku kejahatan dan keluarga Schell sebagai korban kejahatan. Posisi sang teroris memang digambarkan samar-samar, namun keluarga Schell secara jelas digambarkan sebagai keluarga Yahudi. Kalau tidak berhati-hati dalam menyikapi film, mungkin penonton bisa terjebak dalam islamophobia atau anti-semitism. 

Berlatar kota New York pasca tragedi 11 September 2001, film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karangan Jonathan Safran Foer, bukanlah sekedar drama yang membuat kita berlinang air mata layaknya drama-drama Korea yang sering saya saksikan. Film ini memang mengharukan tetapi tidak dibuat cengeng. Peran utama seorang anak 9 tahun tidak serta merta membuat sang sutradara mengeksploitasi kesedihan seorang anak.

Apa yang disampaikan lewat kisah Oskar lebih kepada proses atau tahapan seseorang dalam menghadapi kedukaan. Kalau Anda pernah mendengar model Kübler-Ross kurang lebih inilah yang menjadi tema sentral dari film ini. Model yang juga dikenal dengan sebutan Lima Tahapan Kedukaan (The Five Stages of Grief), pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Elisabeth Kübler-Ross pada bukunya tahun 1969, On Death and Dying. Tahapan ini bermula penyangkalan (denial), lalu marah (anger), berlanjut kepada menawar (bargaining), kemudian depresi (depressiondan akhirnya penerimaan (acceptance). 

Tahapan ini merupakan konsukuensi logis yang menurut Kübler-Ross pasti dialami orang-orang seperti Oskar. Melalui petualangannya di New York dan pertemuannya dengan orang-orang bernama Black, Oskar berhasil melalui kelima tahapan tersebut.

Sebagian besar narasi film ini merupakan monolog Oskar. Selama dua jam lebih kisahnya sendiri banyak berkutat pada narasi atau monolog-monolog panjang yang dikemukakan oleh Oskar. Meski tidak sedominan Oskar, kehadiran tokoh lain seperti Linda Schell, Nenek Oscar, dan Sang Penyewa di rumah Nenek memberikan drama psikologis yang memikat.

Cerita film ini memang bergulir begitu lambat. Sebagian penonton mungkin akan merasa bosan sebelum menuntaskan cerita. Satu-satunya yang membuat penonton bertahan adalah rasa penasaran akan misteri dibalik kunci itu. Kira-kira apa yang ditemukan Oskar diakhir cerita ? Silahkan Anda saksikan sendiri.

Bandung, April 2012 

No comments: