.

28.9.11

Kopi yang Saya Minum Hari Ini


KOPI yang saya ramu pagi ini belum juga terasa nikmat ketika diteguk. Terlalu banyak gula, terlalu banyak air, atau malah terlalu banyak kopi. Saya sungguh tak tahu. Saya cuma tahu inilah resiko meracik kopi yang tidak siap saji.

Seperti biasa saya coba mengutak-atik takaran kopi dan gula yang dimasukkan ke dalam cangkir, dengan harapan mudah-mudahan ada rasa baru yang akan muncul. Saat menghirup tegukan pertama memang terasa ada sesuatu yang baru, namun saat dikecap lebih jauh rasanya tetap belum pas.


Sebenarnya bisa saja saya pergi ke warung lantas membeli kopi instan yang sudah dikemas dalam takaran yang 'pas', atau bahkan pergi ke kedai yang menyediakan kopi yang sudah jadi. Namun karena rasa penasaran pada akhirnya saya memilih meramu sendiri kopi yang saya beli di satu kedai 'antik' di Jalan Banceuy Kota Bandung.

Setelah menghabiskan kopi yang rasanya tidak pas itu, saya teringat sebuah cerita yang saya baca kemarin. Cerita itu berjudul Filosofi Kopi. Ditulis oleh Dewi Lestari dan terdapat dalam kumpulan cerita dan prosa yang ia beri judul sama.


Tokoh utama Filosofi Kopi bernama Ben. Dalam cerita ini, ia digambarkan sebagai sosok yang tergila-gila dengan kopi. Ia sengaja pergi ke berbagai pelosok dunia untuk mencari racikan kopi yang sempurna. Di Roma, Paris, Amsterdam, London, New York hingga Moskow satu per satu peramu kopi handal ia datangi. Dari Hasil pengembaraanya, Ben kemudian mendirikan kedai kopi bersama temannya, Jody.

Di Kedai yang mereka beri nama 'Filosofi Kopi', Ben selalu membagikan selembar kartu kecil sehabis tamunya berkunjung. Kartu itu betuliskan: 'KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:.....' dan keterangan filosofis yang menjelaskan karakter dari kopi yang diminum tamunya. Kedai mereka menjadi ramai karena banyak pengunjung menyukainya. Kesuksesan kedai itu kian mencapai puncak ketika Ben menciptakan sebuah racikan yang ia beri nama Ben's Perfecto. Sejak diciptakannya racikan yang konon 'sempurna' itu, keuntungan kedai mereka berlipat ganda. Namun semua berubah ketika suatu hari seorang bapak tua yang mencicip Ben's Perfecto berkata, ”kopi ini enak, tapi menurut saya ada yang lebih enak lagi.” 

Ben yang terusik meminta bapak itu memberi tahu dimana ia mencicipi kopi yang konon lebih enak dari Ben's Perfecto. Bersama Jody, ia lantas menuju lokasi yang disebut bapak tadi. Di sana mereka menemukan secangkir kopi tiwus yang disuguhkan oleh pemilik warung reyot di daerah tersebut. Setelah meminum kopi itu Ben sadar kalau kopi itu memang memiliki rasa yang lebih enak dibanding racikannya. Ben yang merasa gagal kembali ke Jakarta dan putus asa. Saking putus asanya ia enggan membuka kembali kedai kopi mereka.

Melihat sahabatnya yang tenggelam dalam kekecewaan Jody lantas menghiburnya. Dengan membuatkan kopi tiwus Jody berusaha mengingatkan filosofi dari kopi itu. Semula Ben marah lantaran merasa terhina, namun ketika membaca kartu kecil dari Jody ia tersenyum kembali. Disitu tertulis 'KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: Kopi Tiwus--Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begitu adanya'. 

Tidak seperti Ben, tak ada orang yang akan memberi saya kartu kecil seusai menyeruput kopi tadi. Akan tetapi kalau boleh menghadiahkan sebuah kartu kepada diri sendiri mungkin saya akan menuliskan kata-kata seperti ini: 'KOPI YANG SAYA MINUM HARI INI: Kopi Aroma -- Anda boleh saja memilih sesuatu yang instan, namun terkadang hidup lebih nikmat jika kita meramunya sendiri.'

Bandung, September 2011

2 comments:

rizki said...

hahayyyy..jadi lu ga mau cari temen biar bisa untuk meracik hidup berdua, ndra


btw, dalam meracik kopi, kayaknya jarang ya disebut kalau kopinya kebanyakan. pasti yang disalahin adalah air atau gulanya.. hmm..

Unknown said...

1.Haha..mwnya sih cari pacar/istri ki bkn temen
2.iya juga sih..biarin dah..biar adil gw salahin smuanya..