.

20.6.14

#PENCERMAT: Pada Hari Ulang Tahun

KETIKA saya berulang tahun 18 Juni kemarin, saya menerima ucapan selamat dari sejumlah kawan saya. Ucapannya bermacam-macam. Mulai dari yang berbahasa Indonesia hingga yang berbahasa Inggris. Mulai dari kawan lama hingga kawan-kawan yang relatif baru. Intinya semua mendoakan kesuksesan dan kebahagian untuk saya. Saya senang sekali ketika membaca-bacanya lagi.

Namun di tengah kegembiraan itu tiba-tiba saya teringat dengan ulang tahun saya pada 2012. Sama seperti tahun ini saya juga menerima sejumlah ucapan selamat dari kawan dan saudara. Bedanya, diantara pesan-pesan yang penuh dengan keriaan terselip satu pesan singkat yang menimbulkan rasa sunyi dan sepi.


Saya ingat hari itu hari Senin. Saya masih tinggal rumah kost saya di Jatinangor. Teman sekamar saya Lodra yang selama setengah tahun terakhir berbagi kamar dengan saya sudah pindah ke Jakarta. Suasana kamar kost terasa jadi lebih sepi. Saya terbangun lebih siang dari biasanya lantaran bergadang semalaman. Hal pertama yang saya lakukan adalah berguling-guling diatas tempat tidur mencari telepon seluler saya. Saya antusias mencari tahu siapa saja yang sudah mengirimkan pesan selamat ulang tahun.  

Saya lihat ada puluhan panggilan tak terjawab  di telepon saya. Saya tersenyum-senyum sendiri melihatnya. Saya kira ini pertama kali ada banyak orang yang ingin mengucapkan selamat lewat telepon. Saya agak menyesal karena tidak terbangun dan segera menjawabnya. Namun, ketika dilihat, semua panggilan itu berasal dari Odi, adik perempuan saya. Saya agak heran lantaran Odi lebih sering lupa. Kalaupun ingat, biasanya ia hanya mengirim pesan singkat.

Keheranan itu langsung terjawab ketika saya membaca pesan singkat dari Odi. Dalam pesan singkat itu tertulis:

Bang Mbah uda ga ada, lo di telponin ga di angkat-angkat…  

Saya bisa merasakan kemarahan Odi kepada saya dalam pesan itu. Kegembiraan yang semula saya rasakan seketika berubah jadi rasa sesal di dasar hati.

***

MBAH adalah panggilan saya kepada seorang perempuan bernama Rosmawati binti Muchtar. Ia adalah kakak dari Mama saya. Mbah merupakan anak perempuan paling sulung sementara Mama saya anak perempuan paling bungsu.

Harus saya akui panggilan Mbah ini sering menimbulkan salah paham. Terutama bagi orang-orang di luar keluarga saya. Karena panggilan itu, banyak tetangga atau kenalan yang menyangka kalau keluarga kami adalah keluarga Jawa. Keluarga saya, baik dari sisi Papa maupun Mama, sama-sama berasal dari Pulau Sumatera. Keluarga Papa saya dari Sumatera Utara, sementara keluarga Mama saya dari Sumatera selatan. Keluarga mereka bermigrasi ke Pulau Jawa pada awal-awal era Orde Baru.

Selain itu, ada banyak pula yang menyangka Mbah adalah nenek saya. Saya sendiri sempat menyangka hal serupa selama beberapa saat. Namun setelah diberi tahu Mama, saya jadi paham. Ia menjelaskan kalau Mbah itu sudah seperti orang tuanya lantaran sejak kecil Mama saya sudah dirawat dan dibesarkan oleh Mbah. Saya kira, ini ada hubungannya dengan kemunculan panggilan ini. Lalu mengapa Mbah, bukannya nenek, Oma, atau grandma? Saya tidak tahu.

Yang pasti selain Mama dan Odi, dia merupakan perempuan yang secara emosional dekat dengan saya.  

***

SAAT menerima kabar duka itu, saya langsung bergegas ke Jakarta. Saya coba hubungi keluarga saya di rumah. Tidak ada yang mengangkat. Telepon seluler mereka juga tidak ada yang dijawab. Saya bingung harus kemana. Saya tak tahu dimana Mbah akan disemayamkan dan dikebumikan. Saya berpikir keras mencari rute terbaik agar terhindar kemacetan Jakarta. Akhirnya saya memutuskan menaiki bus Primajasa jurusan Bandung-Tangerang dari terminal Leuwipanjang di Bandung. 

Setibanya di terminal saya langsung langsung mencari bus yang agak sepi lalu mencari tempat duduk di barisan paling belakang. Dengan harapan saya bisa meluapkan perasaan yang sudah saya tahan sejak tadi. Ego saya sebagai seorang laki-laki yang selalu ingin tampak tangguh rupanya bisa membuat saya menahan air mata sepanjang perjalanan dari Jatinangor ke Bandung.

Di kursi sebelah kiri, barisan paling belakang, saya sudah siap-siap melupakan ego dan gengsi saya. Namun, ketika tiba-tiba sepasang muda-mudi tiba-tiba berjalan ke arah belakang dan duduk di kursi sebelah kanan saya. Tak berapa lama kemudian, serombongan orang yang nampaknya berasal dari satu keluarga naik ke bus. Mereka juga berjalan ke arah belakang dan duduk menyebar di sekitar tempat duduk saya. Ego saya kembali menang. Tak setetespun air mata keluar dari mata saya.   

Sepanjang perjalanan saya hanya bisa memikirkan dan merasakan kesedihan itu. Tanpa sekalipun meluapkan atau mengekspresikannya di depan orang. Bus yang saya naiki meluncur dengan cepat dari selatan Bandung. Di dalam bus saya justru merasa sebaliknya.

Rasanya bus Primajasa yang saya naiki sudah sampai di tol dalam kota ketika pesan singkat dari Odi saya terima. Isinya memberitahukan bahwa Mbah akan langsung dikebumikan di TPU Karet.

Saya turun di daerah Slipi dan mencari ojek untuk mencapai tempat pemakaman. Ketika saya turun saya tak melihat satupun ojek yang biasanya banyak terlihat disitu. Mungkin karena sudah memasuki waktu pulang kantor. Saya hampir putus asa sampai seorang pria tiba-tiba memanggil dan menawarkan ojek. 

Setelah proses tawar. Saya langsung naik ke boncengan motornya. Entah mengapa saya masih sempet-sempetnya menawar. 

"Ke kuburan karet ya Pak." 

"Rada cepet ya Pak," dengan suara saya yang sudah bergetar. Sepertinya kesedihan saya sudah tidak terelakkan lagi. 

Saya mulai mengusap-ngusap mata saya meski tak ada air mata yang menetes. Entah karena keacuhan atau ketidaktahuan, bapak-bapak tukang ojek itu malah mengajak saya ngobrol. Ia lantas bercerita soal anak laki-lakinya yang baru saja lulus kuliah. Ia juga menceritakan susah payahnya membiayai kuliah Sang anak.

Mulanya saya agak kesal. Saya hanya ingin lekas sampai. Namun setelah merasakan adanya kebanggaan dan kebahagiaan dalam cerita si Bapak, saya tidak tega memarahinya.    

Dari gerbang makam saya berlari sekencang-kencangnya. Dari kejauhan terlihat beberapa orang berkumpul. Diantaranya saya melihat kedua adik saya, Odi dan Dio. Rupanya hampir semua orang sudah pulang. Hanya ada beberapa anggota keluarga dekat yang masih berada di sana. Apa yang saya takutkan sejak awal rupanya terjadi. Saya terlambat menyaksikan prosesi pemakaman Mbah. Saya tidak sempat mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya. 

Di penghujung hari, di depan makamnya, diantara keluarga terdekat, saya akhirnya menetaskan air mata yang sudah saya tahan sejak tadi. Saya merasa begitu sedih dan sepi.


NB: #Pencermat adalah singkatan dari "Pencerita Jumat" yang merupakan program menulis rutin saya, RizkiTitoLodraDimas yang diterbitkan tiap hari Jumat pada blog kami masing-masing.


2 comments:

Mohammad baghendra lodra said...

sedih ndra, jgn lupa nyekar lo...

andraperdana said...

Iya dar, emang begitu adanya...Pasti nyekar gw...Haha minggu depan ga sedih lagi dah ceritanya...