KETIKA saya berulang tahun 18 Juni kemarin, saya menerima ucapan selamat
dari sejumlah kawan saya. Ucapannya bermacam-macam. Mulai dari yang berbahasa Indonesia hingga yang berbahasa Inggris. Mulai dari kawan lama hingga
kawan-kawan yang relatif baru. Intinya semua mendoakan kesuksesan dan
kebahagian untuk saya. Saya senang sekali ketika membaca-bacanya lagi.
Namun di tengah kegembiraan itu tiba-tiba saya teringat dengan ulang tahun saya pada 2012. Sama seperti tahun ini saya juga menerima sejumlah ucapan selamat dari kawan dan saudara. Bedanya, diantara pesan-pesan yang penuh dengan keriaan terselip satu pesan singkat yang menimbulkan rasa sunyi dan sepi.
Namun di tengah kegembiraan itu tiba-tiba saya teringat dengan ulang tahun saya pada 2012. Sama seperti tahun ini saya juga menerima sejumlah ucapan selamat dari kawan dan saudara. Bedanya, diantara pesan-pesan yang penuh dengan keriaan terselip satu pesan singkat yang menimbulkan rasa sunyi dan sepi.
Saya ingat hari itu hari Senin. Saya masih tinggal rumah kost saya di Jatinangor. Teman sekamar saya Lodra yang selama setengah tahun terakhir berbagi kamar dengan saya sudah pindah ke Jakarta. Suasana kamar kost terasa jadi lebih sepi. Saya terbangun lebih siang dari biasanya lantaran bergadang semalaman. Hal pertama yang saya lakukan adalah berguling-guling diatas tempat tidur mencari telepon seluler saya. Saya antusias mencari tahu siapa saja yang sudah mengirimkan pesan selamat ulang tahun.
Saya lihat ada puluhan panggilan
tak terjawab di telepon saya. Saya
tersenyum-senyum sendiri melihatnya. Saya kira ini pertama kali ada banyak
orang yang ingin mengucapkan selamat lewat telepon. Saya agak menyesal karena
tidak terbangun dan segera menjawabnya. Namun, ketika dilihat, semua panggilan
itu berasal dari Odi, adik perempuan saya. Saya agak heran lantaran Odi lebih
sering lupa. Kalaupun ingat, biasanya ia hanya mengirim pesan singkat.
Keheranan itu langsung terjawab
ketika saya membaca pesan singkat dari Odi. Dalam pesan singkat itu tertulis:
Bang Mbah uda ga ada, lo di telponin ga di angkat-angkat…
Saya bisa merasakan kemarahan Odi
kepada saya dalam pesan itu. Kegembiraan yang semula saya rasakan seketika berubah
jadi rasa sesal di dasar hati.
***
MBAH adalah panggilan saya kepada seorang perempuan bernama
Rosmawati binti Muchtar. Ia adalah kakak dari Mama saya. Mbah merupakan anak perempuan paling sulung sementara Mama saya
anak perempuan paling bungsu.
Harus saya akui panggilan Mbah ini sering menimbulkan salah paham.
Terutama bagi orang-orang di luar keluarga saya. Karena panggilan itu, banyak
tetangga atau kenalan yang menyangka kalau keluarga kami adalah keluarga Jawa. Keluarga
saya, baik dari sisi Papa maupun Mama, sama-sama berasal dari Pulau Sumatera.
Keluarga Papa saya dari Sumatera Utara, sementara keluarga Mama saya dari
Sumatera selatan. Keluarga mereka bermigrasi ke Pulau Jawa pada awal-awal era
Orde Baru.
Selain itu, ada banyak pula yang
menyangka Mbah adalah nenek saya.
Saya sendiri sempat menyangka hal serupa selama beberapa saat. Namun setelah
diberi tahu Mama, saya jadi paham. Ia menjelaskan kalau Mbah itu sudah seperti
orang tuanya lantaran sejak kecil Mama saya sudah dirawat dan dibesarkan oleh Mbah. Saya kira, ini ada hubungannya
dengan kemunculan panggilan ini. Lalu mengapa Mbah, bukannya nenek, Oma, atau grandma?
Saya tidak tahu.
Yang pasti selain Mama dan Odi, dia
merupakan perempuan yang secara emosional dekat dengan saya.
***
SAAT menerima kabar duka itu, saya langsung bergegas ke Jakarta. Saya coba
hubungi keluarga saya di rumah. Tidak ada yang mengangkat. Telepon seluler
mereka juga tidak ada yang dijawab. Saya bingung harus kemana. Saya tak tahu dimana
Mbah akan disemayamkan dan dikebumikan. Saya berpikir keras mencari rute terbaik agar terhindar kemacetan Jakarta. Akhirnya saya memutuskan menaiki bus Primajasa jurusan Bandung-Tangerang dari terminal Leuwipanjang di Bandung.
Setibanya di terminal saya langsung langsung mencari bus yang agak sepi lalu mencari tempat duduk di barisan paling belakang. Dengan harapan saya bisa meluapkan perasaan yang sudah saya tahan sejak tadi. Ego saya sebagai seorang laki-laki yang selalu ingin tampak tangguh rupanya bisa membuat saya menahan air mata sepanjang perjalanan dari Jatinangor ke Bandung.
Di kursi sebelah kiri, barisan paling belakang, saya sudah siap-siap melupakan ego dan gengsi saya. Namun, ketika tiba-tiba sepasang muda-mudi tiba-tiba berjalan ke arah belakang dan duduk di kursi sebelah kanan saya. Tak berapa lama kemudian, serombongan orang yang nampaknya berasal dari satu keluarga naik ke bus. Mereka juga berjalan ke arah belakang dan duduk menyebar di sekitar tempat duduk saya. Ego saya kembali menang. Tak setetespun air mata keluar dari mata saya.
Sepanjang perjalanan saya hanya bisa memikirkan dan merasakan kesedihan itu. Tanpa sekalipun meluapkan atau mengekspresikannya di depan orang. Bus yang saya naiki meluncur dengan cepat dari selatan Bandung. Di dalam bus saya justru merasa sebaliknya.
Rasanya bus Primajasa yang saya naiki sudah sampai di tol dalam kota ketika pesan singkat dari Odi saya terima. Isinya memberitahukan bahwa Mbah akan langsung dikebumikan di TPU Karet.
Saya turun di daerah Slipi dan mencari ojek untuk mencapai tempat pemakaman. Ketika saya turun saya tak melihat satupun ojek yang biasanya banyak terlihat disitu. Mungkin karena sudah memasuki waktu pulang kantor. Saya hampir putus asa sampai seorang pria tiba-tiba memanggil dan menawarkan ojek.
Setelah proses tawar. Saya langsung naik ke boncengan motornya. Entah mengapa saya masih sempet-sempetnya menawar.
"Ke kuburan karet ya Pak."
"Rada cepet ya Pak," dengan suara saya yang sudah bergetar. Sepertinya kesedihan saya sudah tidak terelakkan lagi.
Saya mulai mengusap-ngusap mata saya meski tak ada air mata yang menetes. Entah karena keacuhan atau ketidaktahuan, bapak-bapak tukang ojek itu malah mengajak saya ngobrol. Ia lantas bercerita soal anak laki-lakinya yang baru saja lulus kuliah. Ia juga menceritakan susah payahnya membiayai kuliah Sang anak.
Mulanya saya agak kesal. Saya hanya ingin lekas sampai. Namun setelah merasakan adanya kebanggaan dan kebahagiaan dalam cerita si Bapak, saya tidak tega memarahinya.
Dari gerbang makam saya berlari sekencang-kencangnya. Dari kejauhan terlihat beberapa orang berkumpul. Diantaranya saya melihat kedua adik saya, Odi dan Dio. Rupanya hampir semua orang sudah pulang. Hanya ada beberapa anggota keluarga dekat yang masih berada di sana. Apa yang saya takutkan sejak awal rupanya terjadi. Saya terlambat menyaksikan prosesi pemakaman Mbah. Saya tidak sempat mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya.
Di penghujung hari, di depan makamnya, diantara keluarga terdekat, saya akhirnya menetaskan air mata yang sudah saya tahan sejak tadi. Saya merasa begitu sedih dan sepi.
NB: #Pencermat adalah singkatan dari "Pencerita Jumat" yang merupakan program menulis rutin saya, Rizki, Tito, Lodra, Dimas yang diterbitkan tiap hari Jumat pada blog kami masing-masing.
NB: #Pencermat adalah singkatan dari "Pencerita Jumat" yang merupakan program menulis rutin saya, Rizki, Tito, Lodra, Dimas yang diterbitkan tiap hari Jumat pada blog kami masing-masing.