.

20.9.11

Tradisi Buang Waktu

SEMUA orang, termasuk saya, sadar kalau berurusan dengan pelayan publik di negeri ini pasti banyak waktu yang akan terbuang. Bukan cerita baru kalau ada orang yang izin atau bahkan bolos dari pekerjaannya cuma untuk membuat KTP, mengurus SIM, atau memperbarui STNK. 

Karena alasan yang sama, saya tak heran ketika saya beserta keluarga harus menunggu selama dua jam lebih agar bisa memperbaharui Kartu Tanda Penduduk (KTP) lama kami menjadi E-KTP.

Akhir pekan lalu, saya, papa, mama dan Odi beramai-ramai pergi ke Kantor Kelurahan untuk memperbaharui Kartu Tanda Penduduk (KTP) lama kami menjadi E-KTP. Setiba di Kelurahan, hanya terlihat sedikit warga yang datang. "Bagus lah," kata papa saya. Artinya kami tak perlu berlama-lama menunggu. 

Kami sempat bingung lantaran tak ada satupun petugas dari pihak kelurahan yang terlihat. Dari seorang tetangga saya tahu untuk mendapat giliran (difoto) kami harus mengambil nomor antrian. “Tapi kartu antriannya sudah abis Mas,” sahut seorang Ibu yang sepertinya menguping pembicaraan saya dan tetangga. 

Mama tak yakin dengan kata-kata Ibu tadi, karena itu, ia berusaha mencari petugas ke ruang foto. Di sana rupanya petugas menyimpan kartu antrian bukan membagikannya. Tak jelas alasannya. 

Rupanya bukan hanya keluarga kami saja yang baru mendapat kartu antrian. Ada sebagian warga yang sejak tadi sudah datang juga baru dapat kartu. Kalau bukan karena Mama mungkin mereka hanya akan bengong-bengong menunggu sesuatu yang tidak jelas. 

106, 107, 108, dan 109 adalah nomor antrian yang kami dapat, sementara antrian yang sedang berjalan baru mencapai nomor 30-an. Namun karena pengantri yang terlihat batang hidungnya tak sampai 50-an, kami optimis banyak antrian yang akan di-skip sehingga akan cepat datang giliran kami. 

Hampir satu setengah jam kami di Kelurahan, giliran kami tak kunjung tiba. Desas-desus mulai beredar. Minimnya informasi dari petugas membuat rumor semakin menyebar. Salah satunya adalah kabar bahwa peralatan untuk mengambil foto wajah, retina, dan sidik jari rusak, padahal antrian baru mencapai nomor 50-an. Semua orang, termasuk Keluarga saya mulai cemas. 

Warga yang menunggu semakin banyak. Para warga yang semula tenang, berubah kesal. Tak tahu siapa yang memulai, segerombolan warga yang baru datang marah-marah kepada petugas di depan ruang foto. Sebagian marah karena belum mendapat kartu antrian, sebagian lainnya marah lantaran nomor mereka di skip.

Lalu, terjadilah adu mulut antara warga yang sudah tidak sabar dengan petugas lapangan yang kurang tegas.

Petugas itu berusaha menenangkan dua kelompok warga ini sembari memberi penjelasan, "Bagi yang belum mendapat kartu kami mohon maaf. Karena nomor antrian sudah terlalu banyak, sementara tinggal beberapa jam kami bisa melayani, kami takut Ibu-ibu dan Bapak-bapak tidak bisa terlayani." 

"Bagi yang nomornya kami lewati, kami juga minta maaf. Karena tidak mungkin menghentikan nomor antrian yang sudah berjalan."

Setelah menjelaskan, petugas itu langsung masuk lagi dan melanjutkan tugasnya. Warga nampaknya kurang puas. Banyak yang terlihat kesal sambil mengeluh. Segala macam makian dan hinaan mulai terdengar.

“Tidak professional ini. Amatiran,” ujar seorang seorang Bapak yang baru datang tapi nampak sok sibuk. 

Selain itu, saya juga mendengar bapak yang lain berkata, “pantes aja banyak kantor polisi yang dibakar." Terselip niatan jahat di balik kata-katanya. 

Bahkan ada seorang Bapak yang nampaknya bukan pendukung Presiden kita, melontarkan kritik yang anti pemerintah, "wah SBY ini emang. Anak buahnya gak ada yang becus. Urusan kayak gini aja gak becus. Gimana kasus-kasus laennya. Kenapa coba bisa begini."

Seorang petugas di dalam sepertinya mendengar keluhan-keluhan di Luar. Sambil menggunakan pengeras suara ia mengumumkan, "Baiklah Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian. Biarpun waktu pelayanan tinggal beberapa jam lagi, kartu antrian akan kami bagikan lagi. Tapi dengan satu syarat, jika sampai pukul 16.00 (waktu akhir pelayanan) masih ada yang belum mendapat giliran, jangan ada yang marah-marah lagi. Ibu-ibu dan Bapak-bapak bisa datang lagi besok. OK." 

Masih saja ada orang yang tidak puas. Seorang Bapak yang nomornya di skip merasa waktunya terbuang percuma karena harus mengambil nomor antrian lagi. Mendengar keluhannya, dalam hati saya berujar, "Rasain. Siapa suruh pulang buru-buru. Jangan males ngantri makanya. Haha." 

Tak lama setelah kericuhan kecil itu, tibalah giliran keluarga kami. Proses pengambilan di dalam berlangsung cepat. Pertama wajah kita difoto seperti pembuatan KTP pada umumnya. Kemudian kita diminta membubuhkan tanda tangan pada sebuah alat elektronik . Lalu kesepuluh jari tangan kita discan satu per satu. Dan terakhir, retina mata kita di foto juga untuk melengkapi identifikasi diri. 

Kurang dari 10 menit dibutuhkan untuk menjalani proses diatas. Semua berkat peralatan canggih yang digunakan. Namun, secanggih apapun peralatan yang digunakan kalau pelayanannya masih bersifat tradisionil, lagi-lagi banyak waktu kita yang akan terbuang. Akhirnya ya percuma juga.

Saya cuma bisa mengucapkan, selamat menikmati ‘tradisi’! 

Jakarta, September 2011

No comments: