Karena
alasan yang sama, saya tak heran ketika saya beserta keluarga harus menunggu
selama dua jam lebih agar bisa memperbaharui Kartu Tanda Penduduk (KTP) lama
kami menjadi E-KTP.
Akhir pekan lalu, saya, papa, mama dan Odi beramai-ramai pergi ke Kantor Kelurahan untuk memperbaharui Kartu Tanda Penduduk (KTP) lama kami menjadi E-KTP. Setiba di Kelurahan, hanya terlihat sedikit warga yang datang. "Bagus lah," kata papa saya. Artinya kami tak perlu berlama-lama menunggu.
Akhir pekan lalu, saya, papa, mama dan Odi beramai-ramai pergi ke Kantor Kelurahan untuk memperbaharui Kartu Tanda Penduduk (KTP) lama kami menjadi E-KTP. Setiba di Kelurahan, hanya terlihat sedikit warga yang datang. "Bagus lah," kata papa saya. Artinya kami tak perlu berlama-lama menunggu.
Kami
sempat bingung lantaran tak ada satupun petugas dari pihak kelurahan yang
terlihat. Dari seorang tetangga saya tahu untuk mendapat giliran (difoto) kami
harus mengambil nomor antrian. “Tapi kartu antriannya sudah abis Mas,” sahut seorang Ibu yang
sepertinya menguping pembicaraan saya dan tetangga.
Mama tak
yakin dengan kata-kata Ibu tadi, karena itu, ia berusaha mencari petugas ke
ruang foto. Di sana rupanya petugas menyimpan kartu antrian bukan
membagikannya. Tak jelas alasannya.
Rupanya
bukan hanya keluarga kami saja yang baru mendapat kartu antrian. Ada sebagian
warga yang sejak tadi sudah datang juga baru dapat kartu. Kalau bukan karena
Mama mungkin mereka hanya akan bengong-bengong menunggu sesuatu yang tidak
jelas.
106, 107,
108, dan 109 adalah nomor antrian yang kami dapat, sementara antrian yang
sedang berjalan baru mencapai nomor 30-an. Namun karena pengantri yang terlihat
batang hidungnya tak sampai 50-an, kami optimis banyak antrian yang akan di-skip sehingga akan cepat datang giliran
kami.
Hampir
satu setengah jam kami di Kelurahan, giliran kami tak kunjung tiba. Desas-desus
mulai beredar. Minimnya informasi dari petugas membuat rumor semakin menyebar.
Salah satunya adalah kabar bahwa peralatan untuk mengambil foto wajah, retina,
dan sidik jari rusak, padahal antrian baru mencapai nomor 50-an. Semua orang,
termasuk Keluarga saya mulai cemas.
Warga
yang menunggu semakin banyak. Para warga yang semula tenang, berubah kesal. Tak
tahu siapa yang memulai, segerombolan warga yang baru datang marah-marah kepada
petugas di depan ruang foto. Sebagian marah karena belum mendapat kartu
antrian, sebagian lainnya marah lantaran nomor mereka di skip.
Lalu,
terjadilah adu mulut antara warga yang sudah tidak sabar dengan petugas
lapangan yang kurang tegas.
Petugas
itu berusaha menenangkan dua kelompok warga ini sembari memberi penjelasan,
"Bagi yang belum mendapat kartu kami mohon maaf. Karena nomor antrian
sudah terlalu banyak, sementara tinggal beberapa jam kami bisa melayani, kami
takut Ibu-ibu dan Bapak-bapak tidak bisa terlayani."
"Bagi
yang nomornya kami lewati, kami juga minta maaf. Karena tidak mungkin
menghentikan nomor antrian yang sudah berjalan."
Setelah
menjelaskan, petugas itu langsung masuk lagi dan melanjutkan tugasnya. Warga
nampaknya kurang puas. Banyak yang terlihat kesal sambil mengeluh. Segala macam
makian dan hinaan mulai terdengar.
“Tidak
professional ini. Amatiran,” ujar seorang seorang Bapak yang baru datang tapi
nampak sok sibuk.
Selain
itu, saya juga mendengar bapak yang lain berkata, “pantes aja banyak kantor
polisi yang dibakar." Terselip niatan jahat di balik kata-katanya.
Bahkan
ada seorang Bapak yang nampaknya bukan pendukung Presiden kita, melontarkan
kritik yang anti pemerintah, "wah SBY ini emang. Anak buahnya gak ada yang becus. Urusan kayak gini aja gak becus. Gimana kasus-kasus laennya. Kenapa coba bisa
begini."
Seorang
petugas di dalam sepertinya mendengar keluhan-keluhan di Luar. Sambil
menggunakan pengeras suara ia mengumumkan, "Baiklah Bapak-bapak dan
Ibu-ibu sekalian. Biarpun waktu pelayanan tinggal beberapa jam lagi, kartu
antrian akan kami bagikan lagi. Tapi dengan satu syarat, jika sampai pukul
16.00 (waktu akhir pelayanan) masih ada yang belum mendapat giliran, jangan ada
yang marah-marah lagi. Ibu-ibu dan Bapak-bapak bisa datang lagi besok.
OK."
Masih
saja ada orang yang tidak puas. Seorang Bapak yang nomornya di skip merasa waktunya terbuang percuma
karena harus mengambil nomor antrian lagi. Mendengar keluhannya, dalam hati
saya berujar, "Rasain. Siapa suruh pulang buru-buru. Jangan males ngantri makanya. Haha."
Tak lama
setelah kericuhan kecil itu, tibalah giliran keluarga kami. Proses pengambilan
di dalam berlangsung cepat. Pertama wajah kita difoto seperti pembuatan KTP
pada umumnya. Kemudian kita diminta membubuhkan tanda tangan pada sebuah alat
elektronik . Lalu kesepuluh jari tangan kita discan satu per satu. Dan
terakhir, retina mata kita di foto juga untuk melengkapi identifikasi
diri.
Kurang
dari 10 menit dibutuhkan untuk menjalani proses diatas. Semua berkat peralatan
canggih yang digunakan. Namun, secanggih apapun peralatan yang digunakan kalau
pelayanannya masih bersifat tradisionil, lagi-lagi banyak waktu kita yang akan
terbuang. Akhirnya ya percuma juga.
Saya cuma
bisa mengucapkan, selamat menikmati ‘tradisi’!
Jakarta,
September 2011
No comments:
Post a Comment