![]() |
Foto oleh Kilam (dengan sedikit refining)
|
***
Namanya Holden Caulfield. Dalam novel ini, ia digambarkan sebagai sosok remaja yang cerdas namun naif.Tak punya banyak teman dan suka menyendiri. Berusia 16 tahun dan tinggal di sekolah asrama Pencey Prep, Pennsylvania. Jauh dari keluarganya yang tinggal di New York.
Pada satu liburan natal hidupnya menjadi kacau balau. Dalam dua hari perjalanan di New York ia menjadi depresi. Awalnya ia bingung harus cerita darimana. Meski begitu, ia merasa harus berbagi kisahnya kepada pembaca. Cerita kemudian bergulir lewat narasi Holden.
Semua berawal ketika suatu hari Holden menerima surat dari Pencey Prep. Surat ini adalah surat kesekian yang ia terima dari sekolah. Karena gagal di hampir semua mata pelajaran, ia sadar cepat atau lambat dirinya akan dikeluarkan dari tempat itu.
Dikeluarkan dari Pencey Prep, Holden rupanya menghadapi dilema. Sejatinya, Holden senang lantaran ia sendiri tidak betah disana. Namun disisi lain ia bingung. Tak tahu harus bilang apa kepada orang tuanya saat pulang ke rumah nanti.
Liburan masih beberapa hari lagi. Holden bisa saja pulang saat itu juga, namun ia takut orang tuanya curiga. Berlama-lama tinggal di asrama itu juga bukan sebuah pilihan untuknya. Akhirnya ia memutuskan untuk kabur dari Pencey dan tetap pergi ke New York.
Di New york, Holden berencana bersembunyi di sebuah hotel. Ia baru akan pulang ke rumah jika hari libur telah tiba agar orang tuanya tidak curiga. Dimulailah dua hari dua malam ‘pengembaraan’ yang mengubah hidupnya.
Macam-macam tempat ia datangi. Berbagai hotel, bar, dan klab malam juga ia kunjungi. Remaja tanggung ini berusaha masuk ke dalam dunia orang dewasa. Di sana ia bertemu dengan berbagai sosok orang dewasa. Mulai dari supir taxi, biarawati, bartender, guru, germo, hingga pelacur.
Percakapan Holden dengan orang-orang itu perlahan membuka matanya akan kepalsuan dan kemunafikan dunia. Tak peduli dari yang paling ia anggap suci hingga yang paling sering dihina. Semuanya sama saja.
Perlahan-lahan kita akan menyaksikan rasa kecewa dan frustrasinya semakin besar. Holden yang semula hanya sinis, berubah frustrasi, kemudian menjadi depresi dengan dunia orang dewasa yang ada disekelilingnya.
Beruntung ada satu orang yang bisa menghiburnya. Namanya Phoebe Caulfield. Dia adalah adik perempuan kesayangan Holden. Karena sangat rindu dengan Phoebe, suatu malam Holden nekad menyelinap ke rumahnya. Ia tak peduli lagi jika ketahuan orang tuanya. Percakapan yang intens antara Holden dan Phoebe jadi salah satu klimaks novel ini.
Di akhir cerita, Holden akhirnya membuat keputusan penting. Namun, rasa bencinya akan kemunafikan serta kepalsuan orang dewasa tak bisa ia hapus dari ingatannya.
The Catcher in The Rye berbicara soal tentang remaja dalam bahasa dan pendekatan seorang sahabat. Lebih jauh lagi, ia membahas eksplorasi dan respon seorang remaja terhadap kepalsuan dunia orang dewasa. Novel karya Jerome David Salinger ini terbit pertama kali di Amerika pada 1951. Butuh waktu sekitar 60 tahun untuk sampai ke tangan saya. Versi Bahasa Indonesia yang saya baca diterbitkan Banana Publisher pada 2005. Diterjemahkan oleh Gita Widya Laksmini dan disunting oleh Yusi Avianto Pareanom.
Semula saya pesimis dengan isi terjemahan ini lantaran ilustrasi kover* yang norak dan tambahan judul berbunyi 'Novel Amarah Anak Muda'. Setelah membaca 26 chapter terjemahan rupanya saya harus minta maaf kepada penerjemah dan editor namun tetap tidak ada kata maaf kepada pembuat kover. Gita dan Yusi rasanya mampu menghadirkan soul tulisan J.D Salinger kepada pembaca. Buktinya hati saya tersentuh meski novel ini bukan dituturkan dalam bahasa aslinya.
Membaca The Catcher in The Rye, tak ubahnya seperti mendengar keluh kesah seorang sahabat. Ada keakraban yang terasa ketika mendengar kisah Holden. Penulisnya memang dengan cerdik menempatkan Holden sebagai narator cerita. Dengan begitu, pembaca merasakan aura seorang Holden seolah ada didekat dan sedang bercerita.
Salinger juga piawai membuat pembacanya penasaran untuk terus menelusuri pencarian Holden soal kedewasaan lengkap dengan eksplorasi seksual yang dibungkus dengan cara pandang khas seorang remaja tanggung.
Saya akui bahasa yang digunakan dalam novel ini terkadang agak kurang santun. Bahkan ada beberapa yang cukup vulgar. Ada banyak kata brengsek, tengik, bajingan, dan hujatan lain. Semua bertebaran sepanjang cerita. Namun yang paling mengejutkan dalam versi ini adalah kata ngentot lu! Yang saya temui di beberapa bagian. Kalau membaca kata aslinya dalam bahasa inggris mungkin saya tidak akan terlalu terkejut.
Sejak pertama kali terbit hingga sekarang penjualan The Catcher in The Rye tergolong sukses. Namun kesuksesan ini juga tak lepas dari kontroversi yang ditimbulkannya. Pada 1951, saat novel ini terbit pertama kali, ada banyak penolakan dari masyarakat Amerika. Meski sudah mulai merasakan benih-benih perubahan, Amerika pasca perang dunia ke dua (1950an) sejatinya masih cukup konservatif. Mungkin inilah yang ingin disasar oleh Salinger, pretensi konservatisme orang Amerika.
Banyak pengamat menilai, tema novel yang penuh dengan bumbu kebencian, pembangkangan, dan eksplorasi seksual di kalangan remaja masih terlalu untuk Amerika dekade 1950. Selain itu, penggunaan bahasa-bahasa yang vulgar juga mendorong kontroversi yang lain, yakni sensor terhadap isi novel. Sebuah pembangkangan besar terhadap The First Amandement (UUD Amerika Serikat) dimana kebebasan berpendapat jelas-jelas ditanda tangani sendiri oleh pada The Founding Fathers negeri itu.
Kisah Holden sendiri merupakan sebuah kritik sederhana nan kompleks akan kehidupan manusia. Ketika seorang manusia beranjak dewasa ia akan dihadapkan dengan berbagai pilihan. Pilihan itulah yang menentukan akan menjadi manusia dewasa macam apa ia kelak.
Sayang, di mata Holden yang sensitif, pilihan-pilihan yang diambil orang-orang dewasa yang ia temui terlanjur menampakkan wajah yang palsu. Ia hanya bisa menyaksikan dunia orang dewasa yang ada disekelilingnya dengan penuh kekecewaan.
Melihat kegelisahannya, Pak Antolini, mantan guru yang ia temui, memperingatkan kalau cepat atau lambat Holden bisa ‘terjerembab’. Pak Antolini sendiri bisa melihat tanda-tandanya.
“Bagi orang-orang seperti ini, yang mereka rasakan sepanjang hidup, atau dalam hidup, adalah bahwa lingkungan di sekitar mereka tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan mereka. Atau mereka pikir bahwa lingkungan mereka sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan Sehingga mereka akhirnya sama sekali berhenti mencari. Mereka menyerah sebelum mereka memulai.” (hal. 264)
Holden paham dengan maksud Pak Antolini. Meski kecewa dengan keputusan yang diambil oleh para orang dewasa yang ia temui, Holden sendiri pada akhirnya harus memilih. Berpretensi dengan menjadi seperti mereka atau berbuat sebaliknya.
“Mereka yang belum dewasa adalah mereka yang bersedia mati memperjuangkan satu hal, sementara mereka yang dewasa justru bersedia untuk hidup dengan rendah hati untuk memperjuangkan hal itu.”( hal.265)
“Mereka yang belum dewasa adalah mereka yang bersedia mati memperjuangkan satu hal, sementara mereka yang dewasa justru bersedia untuk hidup dengan rendah hati untuk memperjuangkan hal itu.”( hal.265)
New York 8 desember 1980. Mark David Chapman, meminta John Lennon menandatangani album terbaru Lennon, Double Fantasy, di pagi hari sebelum ia menembak mati bekas pentolan The Beatles beberapa jam kemudian. Usai menyarangkan beberapa peluru, Chapman dikabarkan membacakan beberapa bagian novel ini di samping tubuh Lennon yang sekarat sampai polisi setempat menangkapnya.
Lalu apa hubungan perbuatan Chapman dengan kisah Holden Caulfield? Banyak pengamat yang menilai kalau lewat karya-karya yang dibuatnya, Lennon dianggap mewakili kelas pekerja. Namun kekayaan yang dimiliki Lennon berkata sebaliknya. Hal ini disaksikan Chapman sebagai bentuk kemunafikan dari seorang Lennon.
Saya melihat perbuatan Chapman sebagai sisi gelap dari karya Salinger. Pembacaan yang dilakukannya mungkin terlalu ekstrim. Pengamat yang kontra terhadap karya Salinger bahkan menyebut-nyebut kalau kisah Holden memberikan pesan-pesan kekerasan terselubung. Mungkin ini juga yang menjelaskan mengapa, para pembunuh orang terkenal dalam sejarah, yang dicirikan sebagai lone killer, gemar membaca novel yang sempat dilarang beredar di Amerika ini.
Jika dibaca sekilas, kisah Holden memang cenderung depresif. Namun Di luar kisah Chapman dan lone killer lainnya, sejatinya ada banyak yang bisa ditarik dari novel ini. Meski dinarasikan melalui sinisme, amarah, alienasi, serta kekecewaan Holden, pada akhirnya The Catcher in the Rye membawa pembacanya pada sebuah perenungan tentang kedewasaan hingga pada pertanyaan filosofis tentang arti hidup, takdir, dan pilihan yang akan kita ambil.
Bandung, Agustus 2011
*Cover Buku
Bandung, Agustus 2011
*Cover Buku
No comments:
Post a Comment